davon shogunnate

Do not just make excuse, you choose what you want to do”

Aku mengambil tiga langkah mundur dari sosok di depanku. Kedua tangannya tetap mengarahkan kedua pedangnya padaku. Kanshou dan Byakuya. Pedang yang satu berwarna putih susu dengan tempaan yang melengkung menyerupai lekukan bulan sabit. Pedang lainnya sebaliknya, bermata satu dengan gagang putih susu dengan mata hitam legam yang membuat pedang itu memiliki aura dingin. Keduanya bagai yin dan yang. Saling menyeimbangkan. Tidak ada celah untuk melakukan serangan dari kuda-kuda yang dibuat olehnya.

Lawannya mengucapkan kalimat itu seolah memberikan petunjuk bahwa kenaifanku membatasi kekuatan terpendam yang kumiliki. Aku hanyalah seorang shogunnate yang tak bertalenta. Shogunnate adalah sebuah alat. Naluriku adalah sebuah alat. Kedua tanganku hanyalah sebuah alat. Pedangku adalah perantara diriku yang hanya sekedar alat. Aku bukanlah sesosok samurai yang dapat mengalahkan pria itu secara natural. Namun kata-kata itu membuka segalanya. Tidak lama setelah pertarungan ini aku takkan menyangka pedang tempaan Mr. Kawaguchi milikku sepanjang 2 kaki ini akan melegenda. Tsuki.

Tubuhku terbakar. Nanar. Luka yang dibuat oleh Kanshou pada bahu dan pelipis serta oleh byakuya pada lengan dan kaki belum cukup untuk membuatku cukup jera. Malam itu di bawah sorotan 3/4 bulan, Ia tidak menyadari bahwa samurai berpedang dua itu adalah sebuah batu loncatan dirinya untuk menjadi pejuang bayangan di negeri ini.

Eel is just like woman, if you grab it by force it will try to escape hard”

Ujar samurai sepuluh tahun lebih tua dariku. Keperihan dan kepedihan yang dialaminya dua puluh tahun ini telah membuatnya seorang samurai yang bertalenta. Belut. Dirinya bukan sekedar alat. Dia seorang pejuang sejati yang meletakkan kebanggaannya di atas segalanya. Dengan dua hingga tiga gerakan sederhana saja disertai pergerakan cepat melewati satu, dua, dan tiga pepohonan hutan terlebat di Edo ini, ia bisa melayangkan beberapa ayunan Kanshou kemudian Byakuya silih berganti. Aku hanya bisa bertahan dan menyerang sesekali. Pedang panjang milikku, Tsuki tidak ada bandingannya dibandingkan kecepatan kegesitan dan keuletan samurai di depanku. Hebat. Sungguh luar biasa. Ia bisa menggerakkan seluruh anggota tubuhnya seolah-olah ia satu dengan tanah, dedaunan, dan udara di sekelilingnya. Takjub.

Do not fight against it, just like a fish, they know what it comes ahead them, just let you flow into them until you get a chance”

Ia begitu menikmatinya. Apa yang ia pikirkan sehingga ia memberiku petunjuk-petunjuk itu. Ayunan Kanshou dari dirinya mengalir dari sudut serang kiriku. Aku berhasil melompatinya. Kurasakan Byakuya memotong udara dari sisi kananku mengarah ke leherku yang sudah mati langkah akibat menghindari Kanshou tadi. Paused. 

Hidup. Aku bisa mati tadi. Namun Ia membiarkanku selamat sekali lagi. Senyap. Kelam. Bulan yang tadi tertutup awan kulumunimbus kini terbuka. Pedangku diberi nama itu. Tsuki. Angin yang tadi bergerak ke arahku kini berbalik bergerak ke arahnya. Aku mengerti sekarang.

Kujulurkan pedang itu dari atas kepalaku dengan bantuan tangan kiriku untuk mengarahkan ujung pedang bulan itu ke arahnya. Kedua samurai ini tahu. Ini adalah ayunan terakhir kami. Ia masih menggunakan dua kuda-kuda yang sama. Kaki kanannya membusung ke depan, Kanshou kini berada di tangan kanannya, berada pada posisi ofensif dengan cekungan yang mengarah ke kepalanya, sementara Byakuya sudah siap memberikan pertahanan terkuat yang terpancar dari hitamnya pedang itu.

Dalam sembilan detik. Keduanya mengayunkan masing-masing pedangnya begitu cepatnya. Ayunan mereka begitu cepat hingga tak ada yang tahu apa yang terjadi. Mereka saling membelakangi. Beberapa detik kemudian sesosok tubuh tersungkur dengan bangganya. Tak ada di antara mereka yang menyesali perbuatannya. Tsuki. Kanshou. Byakuya.